Namaku Reni, usia 27 tahun. Kulitku kuning langsat dan rambutku sebahu dengan tinggi 165 cm dan berat 51 kg. Aku telah menikah setahun lebih. Aku berasal dari keluarga Minang yang terpandang. Sekilas wajahku mirip dengan Putri Indonesia 2002 Melani Putria. Bedanya aku telah menikah dan aku lebih tua darinya 2 tahun. Aku bekerja pada sebuah Bank pemerintah yang cukup terkenal.
Suamiku Ikhsan adalah seorang staf pengajar pada sebuah perguruan tinggi swasta di kota Padang. Di samping itu, ia juga memiliki beberapa usaha perbengkelan.
Kami menikah setelah sempat berpacaran kurang lebih 3 tahun.Perjuangan kami cukup berat dalam mempertahankan cinta dan kasih sayang. Di antaranya adalah ketidaksetujuan dari pihak orang tua kami. Sebelumnya aku telah dijodohkan oleh orang tuaku dengan seorang pengusaha.
Bagaimanapun, kami dapat juga melalui semua itu dengan keyakinan yang kuat hingga kami akhirnya bersatu. Kami memutuskan untuk menikah tapi kami sepakat untuk menunda dulu punya anak. Aku dan Bang Ikhsan cukup sibuk sehingga takut nantinya tak dapat mengurus anak.
Kehidupan kami sehari-hari cukup mapan dengan keberhasilan kami memiliki sebuah rumah yang asri di sebuah lingkungan yang elite dan juga memiliki 2 unit mobil sedan keluaran terbaru hasil usaha kami berdua. Begitu juga dalam kehidupan seks tiada masalah di antara kami. Ranjang kami cukup hangat dengan 4-5 kali seminggu kami berhubungan suami istri. Aku memutuskan untuk memakai program KB dulu agar kehamilanku dapat kuatur.
Aku pun rajin merawat kecantikan dan kebugaran tubuhku agar suamiku tidak berpaling dan kehidupan seks kami lancar.
Suatu waktu, atas loyalitas dan prestasi kerjaku yang dinilai bagus, maka pimpinan menunjukku untuk menempati kantor baru di sebuah kabupaten baru yang merupakan sebuah kepulauan. Aku merasa bingung untuk menerimanya dan tidak berani memutuskannya sendiri. Aku harus merundingkannya dulu dengan suamiku. Bagiku naik atau tidaknya statusku sama saja, yang penting bagiku adalah keluarga dan perkawinanku.
Tanpa aku duga, Suamiku ternyata sangat mendorongku agar tidak melepaskan kesempatan ini. Inilah saatnya bagiku untuk meningkatkan kinerjaku yang biasa-biasa saja selama ini, katanya. Aku bahagia sekali. Rupanya suamiku orangnya amat bijaksana dan pengertian. Sayang orang tuaku kurang suka dengan keputusan itu. Begitu juga mertuaku. Bagaimanapun, kegundahan mereka akhirnya dapat diatasi oleh suamiku dengan baik. Bahkan akhirnya mereka pun mendorongku agar maju dan tegar. Suamiku hanya minta agar aku setiap minggu pulang ke Padang agar kami dapat berkumpul. Aku pun setuju dan berterima kasih padanya.
Aku pun pindah ke pulau yang jika ditempuh dengan naik kapal motor dari Padang akan memerlukan waktu selama 5 jam saat cuacanya bagus. Suamiku turut serta mengantarku. Ia menyediakan waktu untuk bersamaku di pulau selama seminggu.
Di pulau itu aku disediakan sebuah rumah dinas lengkap dengan prasarananya kecuali kendaraan. Jarak antara kantor dan rumahku hanya dapat ditempuh dengan naik ojek karena belum adanya angkutan di sana.
Hari pertama kerja aku diantar oleh suamiku dan sorenya dijemput. Suamiku ingin agar aku betah dan dapat secepatnya menyesuaikan diri di pulau ini. Memang prasarananya belum lengkap. Rumah-rumah dinas yang lainnya pun masih banyak yang kosong.
Selama di pulau itu pun suamiku tidak lupa memberiku nafkah batin karena nantinya kami akan bertemu seminggu sekali. Aku pun menyadarinya dan kami pun mereguk kenikmatan badaniah sepuas-puasnya selama suamiku di pulau ini.
Suamiku dalam tempo yang singkat telah dapat berkenalan dengan beberapa tetangga yang jaraknya lumayan jauh. Ia juga mengenal beberapa tukang ojek hingga tanpa kusadari suatu hari ia menjemputku pakai sepeda motor. Rupanya ia meminjamnya dari tukang ojek itu.
Salah satu tukang ojek yang dikenal suamiku adalah Pak Sitorus. Pak Sitorus ini adalah laki-laki berusia 50 tahun. Ia tinggal sendirian dipulau itu sejak istrinya meninggal dan kedua anaknya pergi mencari kerja ke Jakarta.
Laki-laki asal tanah Batak itu harus memenuhi sendiri hidupnya di pulau itu dengan kerja sebagai tukang ojek. Pak Sitorus, yang biasa dipanggil Pak Sitor, orangnya sekilas terlihat kasar dan keras namun jika telah kenal ia cukup baik. Menurut suamiku, yang sempat bicara panjang lebar dengan Pak Sitor, dulunya ia pernah tinggal di Padang yaitu di Muara Padang sebagai buruh pelabuhan. Suatu saat ia ingin mengubah nasibnya dengan berdagang namun bangkrut. Untunglah ia masih punya sepeda motor hingga menjadi tukang ojek.
Hampir tiap akhir pekan aku pulang ke Padang untuk berkumpul dengan suamiku. Yang namanya pasangan muda tentu saja kami tidak melewatkan saat kebersamaan di ranjang. Saat aku pulang, aku menitipkan rumah dinasku pada Pak Sitor karena suamiku bilang ia dapat dipercaya. Akupun mengikuti kata-kata suamiku.
Kadang-kadang aku diberi kabar oleh suamiku bahwa aku tidak usah pulang karena ia yang akan ke pulau. Sering kali suamiku bolak-balik ke pulau hanya karena kangen padaku. Sering kali pula ia memakai sepeda motor Pak Sitor dan memberinya uang lebih.
Suamiku telah menganggap Pak Sitor sebagai sahabatnya karena sesekali saat ia ke pulau, Pak Sitor diajaknya makan ke rumah. Sebaliknya, Pak Sitor pun sering mengajak suamiku jalan-jalan di pantai yang cukup indah itu.
Suamiku sering memberi Pak Sitor uang lebih karena ia akan menjagaku dan rumahku jika aku ditinggal. Sejak saat itu aku pun rutin di antar jemput Pak Sitor jika ke kantor. Tidak jarang ia membawakanku penganan asli pulau itu. Aku pun menerimanya dengan senang hati dan berterima kasih. Kadang aku pun membawakannya oleh-oleh jika aku baru pulang dari Padang.
Setelah beberapa bulan aku tugas di pulau itu dan melalui rutinitas seperti biasanya, suamiku datang dan memberiku kabar bahwa ia akan disekolahkan ke Australia selama 1,5 tahun. Ini merupakan beasiswa untuk menambah pengetahuannya. Aku tahu bea siswa ini merupakan obsesinya sejak lama. Aku menerimanya. Aku pikir demi masa depan dan kebahagiaan kami juga nantinya sehingga tidak masalah bagiku.
Suamiku sebelum berangkat sempat berpesan agar aku jangan segan minta tolong kepada Pak Sitor sebab suamiku telah meninggalkan pesan pada Pak Sitor untuk menjagaku. Suamiku pun menitipkan uang yang harus aku serahkan pada Pak Sitor.
Sejak suamiku di luar negeri, kami sering telpon-teleponan dan kadang aku bermasturbasi bersama suamiku lewat telepon. Itu sering kami lakukan untuk memenuhi libido kami berdua. Akibatnya, tagihan telepon pun meningkat. Bagaimanapun, aku tidak memperdulikannya. Selagi melakukannya dengan suamiku, aku mengkhayalkan suamiku ada dekatku. Tidak masalah jarak kami berjauhan.
Aku mulai jarang pulang ke Padang karena suamiku tidak ada. Paling aku pulang sebulan sekali. Itu pun aku cuma ke rumah orang tuaku. Rumahku di Padang aku titipkan pada saudaraku.
Aku melewatkan hari-hariku di pulau dengan kesibukan seperti biasanya. Begitu juga Pak Sitor rutin mengantar jemputku. Suatu saat ketika aku pulang, Pak Sitor mengajakku untuk jalan-jalan keliling pantai namun aku menolaknya dengan halus. Aku merasa tidak enak. Apa nanti kata teman kantorku jika melihatnya. Kebetulan saat itu pun aku sedang tidak mood sehingga aku merasa lebih tenang di rumah saja. Di rumah aku beres-beres dan berbenah pekerjaan kantor.
Akhir-akhir ini, aku merasakan bahwa Pak Sitor amat memperhatikanku. Tidak jarang ia sore datang sekedar memastikan aku tidak apa-apa sebab di pulau itu ia amat disegani dan berpengaruh.
Aku sadari kadang dalam berboncengan tanpa sengaja dadaku terdorong ke punggung Pak Sitor saat ia menghindari lubang dan saat ia mengerem. Aku maklum, itulah resikonya jika aku berboncengan sepeda motor. Semakin lama, hal seperti itu semakin sering terjadi sehingga akhirnya aku jadi terbiasa. Sesekali aku juga merangkul pinggangnya jika aku duduknya belum pas di atas jok motornya. Aku rasa Pak Sitor pun sempat merasakan kelembutan payudaraku yang bernomer 34b ini. Aku menerima saja kondisi ini sebab di pulau ini mana ada angkutan. Jadi aku harus bisa membiasakan diri dan menjalaninya. Tak bisa membandingkannya dengan di Padang di mana aku terbiasa menyetir sendiri kalau pergi ke kantor.
Pada suatu Jumat sore sehabis jam kerja, Pak Sitor datang kerumahku. Seperti biasanya, ia dengan ramah menyapaku dan menanyakan keadaanku. Ia pun aku persilakan masuk dan duduk di ruang tamu.
Sore itu aku telah selesai mandi dan sedang menonton televisi. Kembali Pak Sitor mengajakku jalan ke pantai. Aku keberatan sebab aku masih agak capai. Lagipula aku agak kesal dengan kesibukan suamiku saat kutelepon tadi. Ia tidak bisa terlalu lama di telpon.
"Kalau gitu, kita main catur saja, Bu... Gimana?" Pak Sitor mencoba mencari alternatif. Kebetulan selama ini ia sering main catur dengan suamiku. Akupun setuju karena aku lagi suntuk. Lumayanlah, untuk menghilangkan kekecewaanku saat ini. Aku pun lalu main catur dengan laki-laki itu. Beberapa kali pula aku mengalahkannya. Taruhannya adalah sebuah botol yang diikat tali lalu dikalungkan ke leher.
Seumur hidupku, baru kali ini aku mau bicara bebas dengan laki-laki selain suamiku dan atasanku. Tidak semua orang dapat bebas berbicara denganku. Aku termasuk tipe orang yang memilih dalam mencari lawan bicara sehingga tidak heran jika aku dicap sombong oleh sebagian orang yang kurang aku kenal. Bagaimanapun, dengan Pak Sitor aku bicara apa adanya, ceplas ceplos. Mungkin karena kami telah saling mengenal dan juga aku merasa membutuhkan tenaganya di pulau ini.
Tanpa terasa, telah lama kami bermain catur hingga jam menunjukan pukul 10 malam. Di luar rupanya telah turun hujan deras diiringi petir yang bersahut-sahutan. Kami pun mengakhiri permainan catur kami. Aku lalu membersihkan mukaku ke belakang.
"Pak, kita ngopi dulu, yuk..? Biar nggak bosan dan ngantuk," kataku menawarinya.
Di pulau saat itu penduduknya telah pada tidur dan yang terdengar hanya suara hujan dan petir. Setelah menghabiskan kopinya, Pak Sitor minta izin pulang karena hari telah larut. Aku tidak sampai hati sebab cuaca tidak memungkinkan ia pulang. Rumahnya pun cukup jauh. Lagi pula aku kuatir jika nanti ia tersambar petir .
Lalu aku tawarkan agar ia tidur di ruang tamuku saja. Akhirnya ia menerima tawaranku. Aku memberinya sebuah bantal dan selimut karena cuaca sangat dingin saat itu.
Tiba-tiba, lampu mati. Aku sempat kaget, untunglah Pak Sitor punya korek api dan membantuku mencari lampu minyak di ruang tengah. Lampu kami hidupkan. Satu untuk kamarku dan yang satu lagi untuk ruang tamu tempat Pak Sitor tidur.
Aku lalu minta diri untuk lebih dulu tidur sebab aku merasa capai. Aku lalu tidur di kamar sementara di luar hujan turun dengan derasnya seolah pulau ini akan tenggelam.
Aku berusaha untuk tidur namun ternyata tidak bisa. Ada rasa khawatir yang tidak aku ketahui sebab petir berbunyi begitu kerasnya hingga akhirnya aku putuskan ke ruang tamu saja. Hitung-hitung memancing kantuk dengan ngobrol bareng Pak Sitor. Rasa khawatirku jadi berkurang sebab aku merasa ada yang melindungi.
Sesampainya di ruang tamu, aku lihat Pak Sitor masih berbaring namun matanya belum tidur. Ia kaget, disangkanya aku telah tidur. Aku lalu duduk di depannya dan bilang nggak bisa tidur. Ia cuma tersenyum dan bilang mungkin aku ingat suamiku. Padahal saat itu aku masih sebal dengan kelakuan suamiku. Tanpa sengaja kucurahkan kekesalanku. Aku tahu, mestinya aku tidak boleh bilang suasana hatiku saat itu pada Pak Sitor namun entah mengapa kata-kata itu meluncur begitu saja.
Dengan cara bijaksana dan kebapakan ia nasehati aku yang belum merasakan asam garam perkawinan. Dalam suasana temaram cahaya lampu saat itu aku tidak menyadari kapan Pak Sitor pindah duduk kesampingku. Aku kurang tahu kenapa aku membiarkannya meraih jemariku yang masih melingkar cincin berlian perkawinanku dan merebahkan kepalaku didadanya. Aku merasa terlindungi dan merasa ada yang menampung beban pikiranku selama ini.
Pak Sitor pun membelai rambutku seolah aku adalah istrinya. Bibirnya terus bergerak ke balik telingaku dan menghembuskan nafasnya yang hangat. Aku terlena dan membiarkannya berbuat seperti itu. Perlahan ia mulai menciumi telingaku. Aku mulai terangsang ketika ia terus melakukannya dengan lembut. Bibirnya pun terus bergeser sedikit demi sedikit ke bibirku. Saat kedua bibir kami bertemu, seperti ada aliran listrik yang mengaliri sekujur tubuhku.
Aku seperti terhipnotis. Aku seperti tak peduli bahwa yang mencumbuku saat itu adalah orang lain. Mungkin aku telah salah langkah dan salah menilai orang. Jelas bahwa Pak Sitor sama sekali tak merasa sungkan memperlakukanku seperti itu. Seolah-olah ia telah menyimpan hasrat yang mendalam terhadap diriku selama ini. Malam ini adalah kesempatan yang telah ditunggu-tunggunya... Anehnya, aku seperti tak kuasa menahan sepak terjangnya. Padahal yang pantas berbuat itu terhadapku hanyalah suamiku tercinta. Sepertinya telah tertutup mata hatiku oleh nafsu dan gairahku yang juga menuntut pelampiasan.
Pak Sitor pun mengulum bibirku beberapa saat. Aku pun membalasnya sambil menutup kedua mataku menikmatinya. Tangannya juga tidak mau tinggal diam dengan terus merabai buah dadaku yang terbungkus BH dan kaos tidur itu.
Aku lalu dibimbingnya ke kamar tidur dan direbahkannya di ranjang yang biasa aku gunakan untuk bercinta dengan suamiku, namun kini yang berada di sini, di sampingku bukanlah suamiku melainkan seorang laki-laki tukang ojek sepantaran ayahku yang notabene tidak pantas untukku.
Aku telah terlarut dalam gairah yang menghentak. Aku tahu akan terjadi sesuatu yang terlarang di antara kami berdua. Itulah yang menyihirku dan, entah bagaimana caranya, membuat aku memasrahkan diriku pada laki-laki ini. Pak Sitor menutup pintu kamar dan menguncinya dari dalam. Sedang lampu di luar telah ia matikan tadi.
Aku diam saja menanti apa yang akan diperbuatnya padaku. Padahal selama ini aku tidak sekali pun memberi hati jika ada laki-laki lain yang iseng merabaku dan mencolekku. Aku termasuk wanita yang menjunjung tinggi kesucian dan kehormatan sesuai dengan yang selalu diajarkan orang tua dan agamaku.
0 Response to "Akhirnya Aku Pasrah"
Posting Komentar